Wednesday, January 26, 2011

Gabe Saporta of Cobra Starship

Cobra Starship have made their second visit to Australia as part of a super-tour with labelmates The Academy Is... and Panic at the Disco. The band is a riddle wrapped in a mystery wrapped in a purple hoodie -- there's no telling what you might learn about yourself and the world when you set out to interview any of them. 

It's comforting to know that somebody, at least, is benefiting from the recent rash of disasters befalling Qantas Airways. "You wanna hear something fucking awesome?" Gabe Saporta asks me. "We came over in this jumbo jet designed for four hundred people, and there were seriously only forty of us on it - just us and The Academy Is... We tried to work out how much each of our tickets would have been worth, considering we could each have a row of our own to stretch out in. I just took a Xanax and slept the whole way. No, that's a lie. I gave all my Xanax to Victoria."

Gabe is Cobra Starship's lead singer; Victoria handles backup vocals and the keytar. Along with bandmates Ryland, Nate, and Alex, they're one of the sassiest acts in modern music, bringing a mix of biting wit, seductive tease, and energetic joy to their shows and albums.

Apart from the plane ride from the USA to Australia, Gabe's not had much luck with sleep lately, though you'd never know it to watch him bounce and dance across the stage throughout Cobra's performances.
"I'm pretty much just running off the energy of the kids in the crowd. They put out so much and I feed off of that. I've had hotel beds for the last two nights but my body doesn't know what to do with a real bed, because we were on Warped tour for months and caught our plane here straight from the last night of that, and so I'm used to sleeping in the little coffin-beds of the bus. Not that I'm complaining about any of that! I don't want it to come across like I'm pulling one of those 'acting is hard!' whines."

The possibility of Gabe projecting any such entitlement is laughably unlikely. Cobra Starship, despite international popularity, are accommodating and generous with their fans above and beyond the levels most other bands could even imagine.


"We wouldn't be anything without these kids; I know that," Gabe explains. "We aren't superstars. I didn't expect anybody in Australia to even know who we are, because we don't sell many records here." I suggest that this might be partly due to the fact that most of the people I know who own Cobra Starship's two albums bought them directly from their record label's website. Last year the band ran a promotion in which each copy of 'Viva la Cobra!' came with a Polaroid photo taken by the band. Lots of the Cobra fans I know got their copy of the CD in that deal, meaning that many of the Polaroids are now down under.

"That is *crazy*," Gabe says, apparently unable to fathom the scope of the band's fanbase across the world. "And look, I know albums are hard to find here a lot of the time -- they get released later, or not at all, and so kids download the songs instead. I don't give a shit about the downloading stuff, because when an Australian crowd sings along with me at a show, that's fucking mindblowing. I don't care how they got the songs."

Because both Panic at the Disco and The Academy Is... are already running pre-show meet and greets on the tour, there isn't the time or logistics for Cobra Starship to do a formal signing session. So, on the first night of the tour, they could be found at the merch counter in the foyer after the set, giving out autographs and attention to all who asked for them.


Source: mtv.com, flickr.com, maryborsellino.com, wkimedia.org

Cobra Starship

 
Cobra Starship are an American Dance-rock/synthpop band created by former Midtown bassist and lead vocalist Gabe Saporta in 2005 in New York, New York. Other members are guitarist Ryland Blackinton, bassist Alex Suarez, keytarist Victoria Asher and Nate Novarro on drums, all of whom provide backing vocals. The group released their debut album While the City Sleeps, We Rule the Streets in 2006, which they followed with ¡Viva la Cobra! in 2007. They most recently released Hot Mess in 2009. The group is currently perhaps best known for their hit singles"Hot Mess" and "Good Girls Go Bad".

Thursday, January 20, 2011

Otobiografi Operator

KELAHIRAN


Pada hari Minggu, tepatnya pada tanggal 16 April tahun 1995, penulis dilahirkan di Rumah Bersalin Bidan Mariam Sukarame, Bandarlampung. Ia lahir pada pukul 20.30. Proses bersalin berlangsug secara normal tanpa memerlukan operasi.

Ketika melahirkan, ibunda penulis sempat merasa putus asa. Sebab, ditengah-tengah proses bersalin, si bayi tersangkut di mulut vagina. Setelah sekitar 5 menit, ibunda memberikan dorongan terkuatnya dan akhirnya, bayi berhasil keluar dengan selamat. Dan begitu juga dengan si ibu.

Bayi merah tersebut lahir dalam keadaan sudah memiliki rambut yang lebat, juga panjang. Bayi langsung diambil suster, dibersihkan, kemudian diberi handuk barulah diberikan kepada sang ibu.


TK 

Penulis mulai memasuki pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) di usia empat tahun. Ia bersekolah di TK Taruna Jaya Perumnas Way Halim, Bandarlampung. Pada masa TK, penulis mengenyam pendidikan sebanyak dua tingkat, yaitu nol besar dan nol kecil, selama dua tahun.

Kebanyakan yang diajarkan di sini adalah pendidikan baca-tulis dan keterampilan. Mula-mula, murid-murid diajarkan cara untuk mengeja. Kemudian cara membaca. Dimulai dari kata-kata dan kalimat yang sederhana. Lalu, dilanjutkan dengan cara membaca kata yang terdapat konsonan ganda di dalamnya, seperti “bunga”, atau “drama”.

Tiap murid dibiasakan untuk menabung setiap harinya. Dan kebiasaan-kebiasaan lainnya yaitu makan bersama, cuci tangan dengan baskom yang terletak di depan kelas, senam tiap minggunya, dsb.

Saat itu, penulis sudah mengikuti kegiatan belajar tambahan di luar jam sekolah, yang juga biasa disebut “les”. Les ini diadakan oleh guru sekolah, dan dilaksanakan di sekolah. Jadi, saat itu, penulis hanya mengikuti les dari sekolah. Les ini biasanya langsung setelah pulang sekolah pada hari Selasa dengan Kamis. Kemudian, sisa hari lainnya digunakan untuk mengikuti Taman Pendidikan Agama (TPA) di sekolah.

Pada awalnya, penulis menggunakan jasa abudemen becak untuk antar-jemput. Tetapi, dikarenakan kekhawatiran sang ibu, akhirnya penulis diantar-jemput menggunakan motor oleh ayah.


SD 

Penulis mulai memasuki jemjang pendidikan yang lebih tinggi, yaitu jenjang Sekolah Dasar (SD) pada tahun 2000. Ia mengenyam pendidikan selama enam tahun di SD Kartika Jaya II-5 Bandarlampung yang juga disebut “SD Persit”. Sebutan Persit ini kerap digunakan, sebab sekolah ini didirikan oleh Persatuan Istri-istri Tentara (PERSIT). Karena itu, tak aneh jika sekolah ini identik dengan gaya militer. Mulai dari warna tembok, sampai peraturan-peraturan yang berlaku.

Di kelas 1 SD, penulis menunjukkan hasil belajar yang baik. Kemudian meningkat di kelas 2. Begitu juga di kelas 3. Penulis terus menunjukkan kemajuan yang berarti.

Di kelas 4, mulai ada pembagian kelas menurut tingkat kepintaran siswa. Kelas unggulan saat itu adalah kelas A, dan unggulan kedua adalah G. Pribadi penulis yang dari dulu memang selalu optimis, tes penentuan kelas ini tidak membuatnya gentar.

Berakhirlah tes, dan beberapa hari kemudian hasil tes diumumkan bersamaan dengan pembagian rapor. Penulis pun masuk kelas 4 A.

Di kelas 4 ini, prestasi penulis menurun drastis. Penulis yang tadinya tidak jauh-jauh dari ranking 2, malah merosot jadi ranking 7. Hal ini sangat mengecewakan orang tua. Tetapi sayangnya, saat itu, penulis belum sadar betapa gawatnya hal itu.

Selanjutnya, di kelas 5, prestasinya benar-benar merosot drastis. Tetapi, syukurlah, ia masih bisa lolos masuk kelas 6 A. Saat itu, berlaku sistem eleminasi bagi siswa yang keampuannya di bawah rata-rata.

Di kelas 6, ada sedikit kemajuan. Penulis jadi lebih rajin belajar. Selain itu, mungkin,
Mengingat sebentar lagi sudah akan masuk SMP, penulis jadi lebih semangat dalam belajar. Tetapi, di kelas 6 ini pulalah, penulis mulai mengenal kata mencontek. Dan kata inilah yang membuatnya menjadi lebih rusak. Sampai sekarang. Sampai ketika tulisan ini masih dalam tahap pengetikan.


Suatu saat, ibu yang tidak biasanya membeli surat kabar, pagi itu membeli sebuah koran lokal. Beliau menemukan sebuah artikel di dalamnya yang mengabarkan tentang dibukanya pendaftaran Penerimaan Siswa Baru (PSB) untuk siswa Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) di SMP Negeri 2 Bandarlampung. Lalu, dengan sesegera mungkin, beliau mendaftarkan anak semata wayangnya ke sekolah tersebut.

 
Untuk menjadi siswa SBI SMPN 2 Bandarlampung, penulis harus menjalani beberapa tes. Tes yang pertama berupa tes akademik. Dari tes ini, diambil 100 siswa dengan nilai tertinggi. Setelah itu, terdapat speaking test, yang diuji oleh 4 orang penguji. Dua orang diantaranya merupakan orang dari direktorat.

Keesokan harinya, berlangsunglah tes tentang kemampuan siswa dalam mengoperasikan Microsoft Office Word dan Microsoft Excell. Lalu, esok harinya, penulis mengikuti tes terakhir dalam proses penyaringan sisa baru ini, yaitu psikotes. Siswa dihadapkan dengan soal-soal psikotes berupa pemahaman gambar, kecocokan kata, pola angka, dsb. Setelah psikotes ini selesai, penulis merasa sangat lelah dan mengantuk. Sepulangnya dari sana, ia tertidur pulas.


SMP



Penulis akhirnya berhasil menjadi salah seorang siswa SBI SMPN 2 Bandarlampung setelah menjalani beberapa tahap tes yang tentunya memeras otak. Orang tua penulis merasa sangat bangga dengan diterimanya ia sebagai siswa SBI SMPN 2 Bandarlampung.

Pada saat itu, siswa SMPN 2 Bandarlampung angkatan penulis, terbagi ke dalam kelas SBI, Akselerasi, dan Reguler. Tepatnya, dua kelas SBI dengan masing-masing kelas berjumlah 30 siswa, kemudian satu kelas Akselerasi yang berisi 20 siswa, lalu kelas Reguler yang terdiri dari tiga kelas, yaitu A, B, dan C. Tiap kelasnya, terdapat 34-42 siswa.


Di jenjang ini, penulis dihadapkan dengan kondisi yang tidak biasa ia hadapi semasa SD. Dan hal ini membuat semangat belajarnya menurun drastis.

Ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar, penulis terbiasa dengan keadaan dimana guru menjelaskan materi sampai sejelas-jelasnya, lalu siswa diberi latihan dan PR secara teratur. Selain itu, tidak ada kisahnya ‘guru tidak masuk! Penulis sering dibuat jengkel dengan kondisi belajar yang tidak kondusif. Semua itu, berhasil membuat penulis kehilangan semangat belajarnya.

Di kelas 8, penulis benar-benar sudah tidak memiliki keinginan untuk belajar. Pemikiran penulis terhadap ‘sekolah’, sudah 100% hanya untuk formalitas belaka. Karena itu, penulis sangat enggan untuk mengerjakan PR. Sekalipun itu PR yang sangat mudah. Bahkan ketika guru memberi pertanyaan kepada siswa di kelas, ia tidak akan menjawab sekalipun tahu jawabannya. Watak si penulis, ia melakukan sesuatu jika ada tujuan atau motivasi. Terkadang, tidak ada alasan yang berarti bagi si penulis untuk melakukan sesuatu, dan itu menunjukkan bahwa ‘ia akan melakukan sesuatu jika ia ingin’. Dan ia yakin idak ada yang lebih mengetahui pribadi si penulis selain Allah SWT dan penulis itu sendiri.
Di kelas 9, entah kenapa, seakan mendapat ilham dari Yang Maha Kuasa, penulis tidak lagi bermalas-malasan seperti dulu. Ia jadi lebih rajin belajar daripada sebelumnya. Walaupun tidak serajin ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Teruslah usaha kerasnya dalam waktu hampir setahun itu, sampai akhirnya ia lulus SMP dan lolos tes PSB SMA Negeri 2 Bandarlampung.

Hal ini membuatnya senang sekali. Ia sangat senang berhasil membuat orang tuanya bangga. Dengan keberhasilan ini, penulis kemudian berpikir,”Seandainya waktu itu aku tidak mengubah caraku dan terus bersikap seperti itu, mungkin aku tidak bisa jadi seperti ini, dan aku akan mengecewakan orang tuaku. Seandainya aku terus bersikap seperti itu, kemudian aku lolos tes besar ini     I don’t deserve this”, “Akan kubuktikan pada dunia bahwa aku yang hanya bermodalkan IQ kurang dari 120 ini, pasti bisa meraih cita-citaku. I’ll prove it! Watch me!”.


SMA


Seperti biasa, siswa baru menjalani kegiatan yang disebut Masa Orientasi Siswa (MOS). Tetapi, di jenjang ini, pelaksanaannya agak sedikit berbeda dengan waktu di SMP. Di SMP, MOS hanya berlangsung selama tiga hari, dan setelah itu, selesai. Sedangkan di SMA, sebelum mengikuti MOS, siswa diwajibkan untuk mengikuti kegiatan yang disebut PRA MOS, yaitu Pra Masa Orientasi Siswa. Sebenarnya kegiatan PRA MOS dan MOS tidak begitu jauh berbeda. Namun, tetap ada sedikit perbedaan dari kedua kegiatan tersebut, seperti kegiatan Peraturan Baris Berbaris (PBB) yang dilaksanakan ketika PRA MOS berlangsung, bukan saat MOS. Setelah menjalani kegiatan PRA MOS dan MOS, penulis sudah benar-benar resmi menjadi siswa SMA Negeri 2 Bandarlampung.

Penulis masuk SMAN 2 Bandarlampung dengan nilai 83,13 dan berada di peringkat 58. Ia mencoba mengikuti Tes Akselerasi. Tes Akselerasi terdiri dari tes akademik dengan soal Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Biologi, dan Fisika, lalu tes psikotes, dan yang terakhir, tes fisik. Pada tes kali ini, penulis tidak lulus, dan terpaksa ia hanya mengikuti program belajar Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Awalnya, ia merasa kecewa karena hal tersebut, tetapi pada akhirnya, ia mensyukurinya.

Penulis masuk kelas X-RSBI 3 dengan wali kelas Dra. Aryulina Amir. Beliau juga merupakan guru sejarah kami. Selain itu, beliau juga dikenal sebagai wanita yang cantik.

Pada awalnya, penulis agak sulit beradaptasi dengan lingkungan yang baru ditemuinya ini. Langkah baru. Sekolah baru. Kelas baru. Teman baru. Dan suasana baru yang tidak biasa ia temui semasa SMP. Tetapi, masa-masa SMA ini begitu menyenangkan baginya. Sebab, kebanyakan penduduk kelasnya berasal dari sekolah dan kelas yang berbeda-beda semasa SMP. Jadi, penulis bagaikan menemukan warna baru di kelas ini. Selain itu, anak-anak di kelas X-RSBI 3 ini, tergolong baik. Tak terbayangkan bagaimana rasanya jika sudah penjurusan kelas nanti. Ia pasti akan sangat merindukan teman-temannya.


Di SMA ini, penulis mengikuti beberapa kegiatan ekstrakulikuler (ekskul), yaitu High School English Club (HSEC), Karya Ilmiah Remaja (KIR), dan Pasukan Inti Siswa (PASIS). Di ekskul HSEC, ia masuk Debate Division dan Newscast Division. Pada awalnya, ia hanya mengikuti satu divisi di HSEC, yaitu Debate Division. Tetapi, didorong oleh rasa penasaran terhadap Newscast Division, maka ia pun ikut bergabung. Penulis berharap, dengan mengikuti HSEC ini, ia dapat menjadi debater yang baik.

Lalu, pada ekskul lainnya, KIR dan PASIS, tidak begitu banyak pertemuan sejauh ini. Tetapi, pada ekskul PASIS, mungkin frekuensi pertemuan dirasa jarang sebab terkadang waktu pertemuan tidak sinkron dengan jadwal penulis. Sampai detik ini, ia sama sekali belum pernah mengikuti Latihan Fisik (Latfis) dan kegiatan semacamnya.

Kegiatan belajar-mengajar di kelas, dirasa cukup sulit untuk diikuti oleh penulis pada awalnya. Tetapi, belakangan ini, ia sudah mampu beradaptasi. Mungkin kesulitan belajar pada awal-awal tahun ajaran tersebut disebabkan ketertinggalan materi disebabkan terlalu banyaknya dispen dikarenakan TONPARA.

Walaupun begitu, penulis yakin! Selanjutnya, ia pasti bisa melakukan yang terbaik. Lalu, mewujudkan cita-citanya untuk menjadi seorang astronom yang hebat!